Sabtu, 23 April 2011

BUNG KARNO & MUSIK NGAK-NGIK-NGOK

Oleh : Ahmad Tohari

Pada masa remaja di tahun 1960-an saya tidak bisa mengerti tindakan Bung Karno yang melarang lagu-lagu dari Barat yang disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Waktu itu lagu-lagu dari kelompok The Beatles sedang melanda dunia. Saya pun sangat menyukainya karena irama lagu itu bisa menghanyutkan jiwa remaja saya.

Tindakan Bung Karno tidak hanya sampai di sini. Musik ngak-ngik-ngok buatan dalam negeri pun dilarang beredar. Lagu ‘Oh, Kasihku’ ciptaan Koes Bersaudara (kemudian berubah nama menjadi Koes Plus) dan lagu ‘Boneka dari India’ yang dinyanyikan Elya Agus (kemudian berubah nama menjadi Elya M Haris, Elya Khadam dst) juga dilarang. Bahkan Koes Bersaudara dan Elya Agus kemudian dipenjarakan.



Mengapa Bung Karno begitu? Memangnya anak muda tidak boleh bersenang-senang? Alasan Bung Karno seperti yang amat sering dipidatokan, musik ngak-ngik-ngok yang biasa diiringi dansa-dansi akan merusak mental para pemuda. Menurut bahasa Bung Karno, musik produk imperialis/kapitalis itu akan melemahkan semangat juang para pemuda dan akan menghancurkan nilai kepribadian bangsa. Bung Karno yang memang jadi pejuang bangsa sejak usia muda agaknya punya alasan kuat untuk mengatakan keyakinan itu.

Bung Karno juga pasti tahu pada 1960-an itu kaum muda di Cina, Jepang, atau Korea masih menahan diri untuk hidup berhura-hura karena mereka sadar harus berjuang dan bekerja keras demi kemajuan masyarakat dan bangsanya. Maka para pemuda Indonesia pun oleh Bung karno dilarang berngak-ngik-ngok dan diminta untuk lebih giat bekerja.

Sayang, Bung Karno jatuh pada 1966, dan suasana sangat cepat berubah. Terjadi euforia desukarnoisasi di semua bidang. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya bermunculan pemancar radio yang dikelola oleh anak-anak muda. Lalu membanjirlah lagu-lagu Barat yang sebelumnya dilarang. Koran-koran picisan terbit dengan mudah dan bebas. Maka bukan hanya lagu, semua produk budaya pop dan gaya hidup yang dulu ditentang Bung Karno membanjir.

Memang ada sedikit perlawanan dari anak-anak muda yang masih menyisakan idealisme kerakyatan, seperti yang terlihat dalam peristiwa Malari tahun 1974. Tapi gerakan perlawanan ini ditumpas habis oleh kekuatan besar yang sedang tumbuh, orde baru. Tanggal 6 Juni kemarin adalah hari lahir Bung Karno (1901). Saya jadi teringat kembali tindakan Bung Karno lebih dari 40 tahun lalu yang melarang pemuda Indonesia ber-ngak-ngik-ngok. Dulu saya bingung, namun sekarang saya bisa lebih mengerti.

Ternyata musik jenis ini bisa menjadi pembuka bagi masuknya gaya hidup sangat pragmatis, cair dan hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Itulah yang ingin dicegah Bung Karno. Dengan ngak-ngik-ngok yang mendayu-dayu para pemuda mudah terlena dan mudah tercerabut dari nilai-nilai idealisme. Apalagi bila musik itu disertai gaya pergaulan longgar serta dibumbui alkohol dan narkoba. Maka hasilnya bisa dilihat dengan jelas di sekeliling kita sekarang ini.

Rata-rata pemuda masa kini ingin segera bisa hidup enak tapi dengan cara yang cepat dan mudah. Instan. Santai. Amat konsumtif. (Hormat untuk minoritas anak muda yang mau belajar atau bekerja keras dengan cara berjualan mi ayam, jadi buruh pabrik, PKL, TKI, dsb). Namun selebihnya seperti hanya menuruti jebakan kaum modal yang dulu sengaja menghadirkan musik ngak-ngik-ngok yang tidak disukai Bung Karno.

Gaya hidup pragmatis, santai, dan amat konsumtif para pemuda sekarang bisa bisa dibuktikan dari berbagai hal. Misalnya, konsumsi rokok yang luar biasa besarnya sehingga bangsa ini menjadi bangsa perokok terbesar di dunia. Di kampus-kampus, kantin dan kafe lebih ramai daripada perpustakaan. Kebutuhan pulsa jauh mengalahkan kebutuhan akan buku.

Sebagian besar pemuda Indonesia punya prestasi rendah di bidang akademik. Juga di bidang olehraga. Sebaliknya, hasrat untuk mengonsumsi semua barang yang ditawarkan terutama melalui media TV sangatlah besar. Melalui semua media yang tersedia kaum modal telah berhasil mengubah masyarakat, terutama kaum muda, bukan hanya jadi manusia pragmatis dan konsumtif melainkan juga hidup dalam dunia sensasi. Kaum modal memang tahu, masyarakat yang sudah masuk perangkap sensasi sangat mudah menjadi pembeli barang yang mereka buat, baik barang itu benar-benar dibutuhkan atau hanya diinginkan.

Empat puluh tahun lalu Bung Karno pasti sudah menduga keadaan ini akan terjadi dan dia sudah berupaya menyegahnya. Tetapi banyak orang tidak percaya bahkan menertawakannya. Termasuk saya! Saya menyesal telah ikut-ikutan menyepelekan pikiran Bung Karno yang futuristik ini. Sayang sudah terlambat. Namun setidaknya saya masih bisa mengingatkan kepada kelima anak saya: hiduplah dengan idealisme untuk menjadi manusia yang sehat lahir batin dan produktif. Untuk Bung Karno, semoga perjuanganmu bagi bangsa ini menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT.

SAATNYA BANGKIT KAWAN !!

Jujur, saya tertohok dan setengahnya tersadarkan oleh artikel ini.. NO MORE GALAU MUSIC !!

Pernah terbit sebagai artikel di HU Republika.

Dikutip dari padmanaba.or.id, yang posting pak Agus Santosa (agsasman3yk.wordpress.com), guru Sosiologi SMA 3 Padmanaba Yogyakarta.


Share/Bookmark

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar...

 
© Copyright by Good is the enemy of Great  |  Template by Blogspot tutorial